Senin, 26 Desember 2011

Tokoh Inspirator Negeri

artikel kali ini tidak ada konten dengan dunia SMT , namun artikel kali ini saya coba share sosok inspiratif  dinegeri kita tercinta beliau adalah Dahlan Iskan.
siapa Dahlah Iskan itu...?
berikut profit singkat Dahlan Iskan. 

Dahlan Iskan (lahir tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur), adalah CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos News Network, yang bermarkas di Surabaya. Ia juga adalah Direktur Utama PLN sejak 23 Desember 2009. Pada tanggal 19 Oktober 2011, berkaitan dengan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, Dahlan Iskan diangkat sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menggantikan Mustafa Abubakar yang sedang sakit.
Dahlan Iskan dibesarkan di lingkungan pedesaan dangan kondisi serba kekurangan. Orangtuanya tidak ingat tanggal berapa Dahlan dilahirkan. Dahlan akhirnya memilih tanggal 17 Agustus dengan alasan mudah diingat karena bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia.
Dahlan Iskan pernah menulis buku berjudul Ganti Hati (catatan tersebut dapat dibaca di Pengalaman Pribadi Menjalani Tranplantasi Liver) pada tahun 2008. Buku ini berisi tentang penglaman Dahlan Iskan dalam melakukan operasi cangkok hati di Cina.
Karir Dahlan Iskan dimulai sebagai calon reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1975. Tahun 1976, ia menjadi wartawan majalah Tempo. Sejak tahun 1982, Dahlan Iskan memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang.
Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar.
Lima tahun kemudian terbentuk Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada tahun 1997 ia berhasil mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya, dan kemudian gedung serupa di Jakarta.
Pada tahun 2002, ia mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru.
Sejak awal 2009, Dahlan adalah sebagai Komisaris PT. Fangbian Iskan Corporindo (FIC)yang akan memulai pembangunan Sambungan Komunikasi Kabel Laut (SKKL) pertengahan tahun ini. SKKL ini akan menghubungkan Surabaya di Indonesia dan Hong Kong. Dengan panjang serat optik 4.300 kilometer
Sejak akhir 2009, Dahlan diangkat menjadi direktur utama PLN menggantikan Fahmi Mochtar yang dikritik karena selama kepemimpinannya banyak terjadi mati lampu di daerah Jakarta. Semenjak memimpin PLN, Dahlan membuat beberapa gebrakan diantaranya bebas byar pet se Indonesia dalam waktu 6 bulan, gerakan sehari sejuta sambungan. Dahlan juga berencana membangun PLTS di 100 pulau pada tahun 2011. Sebelumnya, tahun 2010 PLN telah berhasil membangun PLTS di 5 pulau di Indonesia bagian Timur yaitu Pulau Banda, Bunaken Manado, Derawan Kalimantan Timur, Wakatobi Sulawesi Tenggara, dan Citrawangan. Selain sebagai pemimpin Grup Jawa Pos, Dahlan juga merupakan presiden direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta: PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Surabaya.
Pada tanggal 17 Oktober 2011, Dahlan Iskan ditunjuk sebagai pengganti Menteri BUMN yang menderita sakit. Ia terisak dan terharu begitu dirinya dipanggil menjadi menteri BUMN karena ia berat meninggalkan PLN yang menurutnya sedang pada puncak semangat untuk melakukan reformasi PLN.
=============================================================
saya selalu mengikuti catatan dahlan iskan di blog pengangumnya http://dahlaniskan.wordpress.com , bagi anda yang tertarik untuk mengenal lebih dekat silhkan ikutin catatan beliau yang rilis seminggu sekali tepatnya hari senin.
berikut salah satu catatan dahlan iskan yang rilis pada senin 12 desember 2011
Kursi Feodal Bertabur Puntung Rokok

Gaji dan fasilitas sudah tidak kalah. Kemampuan orang-orang BUMN juga sudah sama dengan swasta. Memang iklim yang memengaruhinya masih berbeda, namun plus-minusnya juga seimbang. Apakah yang masih jauh berbeda? Tidak meragukan lagi, kulturlah yang masih jauh berbeda. Di BUMN pembentukan kultur korporasi yang sehat masih sering terganggu.
Terutama oleh kultur saling incar jabatan dengan cara yang curang: menggunakan backing. Baik backing dari dalam?maupun dari luar. Backing dari dalam biasanya komisaris atau pejabat tinggi Kementerian BUMN. Tidak jarang juga ada yang menunggangi serikat pekerja. Sedangkan, backing dari luar biasanya pejabat tinggi kementerian lain, politisi, tokoh nasional, termasuk di dalamnya tokoh agama.?
Saya masih harus belajar banyak memahami kultur yang sedang berkembang di semua BUMN. Itulah sebabnya sampai bulan kedua ini, saya masih terus-menerus mendatangi unit usaha dan berkeliling ke kantor-kantor BUMN. Saya berusaha tidak memanggil direksi BUMN ke kementerian, melainkan sayalah yang mendatangi mereka.
Sudah lebih 100 BUMN dan unit usahanya yang saya datangi. Saya benar-benar ingin belajar memahami kultur manajemen yang berkembang di masing-masing BUMN. Saya juga ingin menyelami keinginan, harapan, dan mimpi para pengelola BUMN kita. Saya ingin me-manufacturing hope.?
Dengan melihat langsung kantor mereka, ruang direksi mereka, ruang-ruang rapat mereka, dan raut wajah-wajah karyawan mereka, saya mencoba menerka kultur apa yang sedang berkembang di BUMN yang saya kunjungi itu. Karena itu, kalau saya terbang dengan Citilink atau naik KRL dan kereta ekonomi, itu sama sekali bukan untuk sok sederhana, melainkan bagian dari keinginan saya untuk menyelami kultur yang lagi berkembang di semua unit usaha.?
Kunjungan-kunjungan itu tidak pernah saya beritahukan sebelumnya. Itu sama sekali bukan dimaksudkan untuk sidak (inspeksi mendadak), melainkan untuk bisa melihat kultur asli yang berkembang di sebuah BUMN. Apalagi saya termasuk orang yang kurang percaya dengan efektivitas sidak.
Karena itu, kadang saya bisa bertemu direksinya, kadang juga tidak. Itu tidak masalah. Toh, kalau tujuannya hanya ingin bertemu direksinya, saya bisa panggil saja mereka ke kementerian. Yang ingin saya lihat adalah kultur yang berkembang di kantor-kantor itu. Kultur manajemennya.
Dari tampilan ruang kerja dan ruang-ruang rapat di BUMN itu, saya sudah bisa menarik kesimpulan sementara: BUMN kita masih belum satu kultur. Kulturnya masih aneka ria. Masing-masing BUMN berkembang dengan kulturnya sendiri-sendiri. Jelekkah itu” Atau justru baikkah itu” Saya akan merenungkannya: perlukah ada satu saja corporate culture BUMN” Ataukah dibiarkan seperti apa adanya” Atau, perlukah justru ada kultur baru sama sekali”
Presiden SBY benar. Ada beberapa kantor mereka yang sangat mewah. Beberapa ruang direksi BUMN “beberapa saja” sangat-sangat mewahnya. Tapi, banyak juga kemewahan itu yang sebenarnya peninggalan direksi sebelumnya.


Salahkah ruang direksi BUMN yang mewah” Belum tentu. Kalau kemewahan itu menghasilkan kinerja dan pelayanan kepada publik yang luar biasa hebatnya, orang masih bisa memaklumi. Tentu saja kemewahaan itu tetap salah: kurang peka terhadap perasaan publik yang secara tidak langsung adalah pemilik perusahaan BUMN.
Kemewahan itu juga tidak berbahaya kalau saja tidak sampai membuat direksinya terbuai: keasyikan di kantor, merusak sikap kejiwaannya dan lupa melihat bentuk pelayanan yang harus diberikan. Namun, sungguh sulit dipahami manakala kemewahan itu menenggelamkan direksinya ke keasyikan surgawi yang lantas melupakan kinerja pelayanannya.?
Di samping soal kemewahan itu, saya juga masih melihat satu-dua BUMN yang dari penampilan ruang-ruang kerja dan ruang-ruang rapatnya masih bernada feodal. Misalnya, ada ruang rapat yang kursi pimpinan rapatnya berbeda dengan kursi-kursi lainnya. Kursi pimpinan rapat itu lebih besar, lebih empuk, dan sandarannya lebih tinggi.
Ruang rapat seperti ini, untuk sebuah perusahaan, sangat tidak tepat. Sangat tidak korporasi. Masih mencerminkan kultur feodalisme. Saya tidak mempersoalkan kalau yang seperti itu terjadi di instansi-instansi pemerintah. Namun, saya akan mempersoalkannya karena BUMN adalah korporasi.
Harus disadari bahwa korporasi sangat berbeda dengan instansi. Kultur menjadi korporasi inilah yang masih harus terus dikembangkan di BUMN. Saya akan cerewet dan terus mempersoalkan hal-hal seperti itu meski barangkali akan ada yang mengkritik “menteri kok mengurusi hal-hal sepele”.
Saya tidak peduli. Toh, saya sudah menyatakan secara terbuka bahwa saya tidak akan terlalu memfungsikan diri sebagai menteri, melainkan sebagai chairman/CEO Kementerian BUMN.
Efektif tidaknya sebuah rapat sama sekali tidak ditentukan oleh bentuk kursi pimpinan rapatnya. Rapat korporasi bisa disebut produktif manakala banyak ide lahir di situ, banyak pemecahan persoalan ditemukan di situ, dan banyak langkah baru diputuskan di situ. Saya tidak yakin ruang rapat yang feodalistik bisa mewujudkan semua itu.
Saya paham: kursi pimpinan yang berbeda mungkin dimaksudkan agar pimpinan bisa terlihat lebih berwibawa. Padahal, kewibawaan tidak memiliki hubungan dengan bentuk kursi. Susunan kursi ruang rapat seperti itu justru mencerminkan bentuk awal sebuah terorisme. Terorisme ruang rapat.
Ide-ide, jalan-jalan keluar, keterbukaan, dan transformasi kultur korporasi tidak akan lahir dari suasana rapat yang terteror. “Terorisme ruang rapat” hanya akan melahirkan turunannya: ketakutan, kebekuan, kelesuan, dan keapatisan. Bahkan, “terorisme ruang rapat” itu akan menular dan menyebar ke jenjang yang lebih bawah. Bisa-bisa seseorang yang jabatannya baru kepala cabang sudah berani minta agar kursi di ruang rapatnya dibedakan!
Tentu saya tidak akan mengeluarkan peraturan menteri mengenai susunan kursi ruang rapat. Biarlah masing-masing merenungkannya. Saat kunjungan pun, saat melihat ruang rapat seperti itu, saya tidak mengeluarkan komentar apa-apa. Juga tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Saya memang kaget, tetapi di dalam hati.
Yang juga membuat saya kaget (di dalam hati) adalah ini: asbak. Ada asbak yang penuh puntung rokok di ruang direksi dan di ruang rapat. Ruang direksi yang begitu dingin oleh AC, yang begitu bagus dan enak, dipenuhi asap dan bau rokok.
Saya lirik agak lama asbak itu. Penuh dengan puntung. Menandakan betapa serunya perokok di situ. Saya masih bisa menahan ekspresi wajah kecewa atau marah. Saya ingin memahami dulu jalan pikiran apa yang kira-kira dianut oleh direksi seperti itu. Apakah dia merasa sebagai penguasa yang boleh melanggar peraturan? Apakah dia mengira anak buahnya tidak mengeluhkannya? Apakah dia mengira untuk hal-hal tertentu pimpinan tidak perlu memberi contoh?
Soal rokok ini pun, saya tidak akan mengaturnya. Sewaktu di PLN saya memang sangat keras melawan puntung rokok. Tetapi, di BUMN saya serahkan saja soal begini ke masing-masing korporasi. Hanya, harus fair. Kalau direksinya boleh merokok di ruang kerjanya, dia juga harus mengizinkan semua karyawannya merokok di ruang kerja mereka. Dia juga harus mengizinkan semua tamunya merokok di situ.
“Kursi feodal” dan “puntung rokok” itu terserah saja mau diapakan. Saya hanya khawatir jangan sampai “nila setitik merusak susu se-Malinda”. Bisa menimbulkan citra feodal BUMN secara keseluruhan. Padahal, itu hanya terjadi di satu-dua BUMN. Selebihnya sudah banyak yang sangat korporasi.(*)
Dahlan Iskan
Menteri  BUMN

.

Tidak ada komentar: